Perjalanan Karir Didi Kempot yang Legendaris, Inilah Fakta-Fakta Di Balik Kesuksesannya
Pada tanggal 5 Mei 2020 hari Selasa lalu, Indonesia kembali dikejutkan dengan kehilangan salah satu entertainer seniornya. Didi Kempot yang kerap disebut Dewa Patah Hati alias Godfather of Broken Heart tersebut meninggal dunia di usia 53 tahun karena serangan jantung yang dideritanya.
Maestro musik campur sari tersebut diketahui menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Jateng. Punya peranan besar di industri entertainment Indonesia, Didi Kempot mempunyai banyak Sobat Ambyar (fans) dari segala usia dan juga lapisan masyarakat.
Sebelum jatuh sakit dan meninggal dunia, Didi Kempot sempat perform pada 18 April 2020. Siapa yang menyangka jika konser penggalangan dana bantuan untuk tanggap wabah Corona itu menjadi penampilannya yang terakhir.
Namun tak banyak yang tahu jika sebelumnya perjalanan karir sang musisi legendaris ini penuh dengan lika-liku. Sebelum akhirnya berhasil mencapai puncak, ia tanpa lelah telah berjuang dari nol. Berikut penggalan kisahnya yang menarik dan inspiratif.
Tidak Menyelesaikan Pendidikan SMA
Didi Kempot rupanya berasal dari keluarga pecinta seni. Mewarisi darah seni, bapaknya ialah Ranto Edi Gudel (Mbah Ranto) yang dikenal sebagai pelaku seni tradisional. Sedangkan kakak kandungnya, Mamiek Prakoso juga dikenal publik sebagai salah satu pelawak dan komedian senior yang tergabung dalam Srimulat.
Seperti bapak dan kakaknya, Dionisius Prasetyo demikian nama lengkapnya juga ingin terjun berkiprah di dunia seni. Tak tanggung-tanggung, ada harga mahal yang mesti dibayarnya untuk mengejar impian menjadi seorang musisi.
Di usia SMA, Didi lantas memutuskan untuk putus sekolah sehingga ia tidak menyelesaikan pendidikan SMA. Saat itu Mbah Ranto berpendapat, seniman tak akan butuh pendidikan sekolah tinggi yang penting kemampuan dan bakatnya.
Menjadi Musisi Jalanan
Impian memulai karir di industri musik rupanya tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Didi pun tak bisa serta merta langsung mencicipi sedapnya berkarya di dapur rekaman. Malahan, ia harus berjuang dari nol dengan menjadi musisi jalanan.
Mengamen, Didi mulai menjajaki perjalanan karirnya di Kota Solo di era tahun 80-an. Hingga beberapa tahun berlalu, ia lantas merantau ke ibukota demi untuk mengadu peruntungannya.
Ketika itu, Didi harus bersaing dengan begitu banyak pemusik jalanan lainnya yang mencoba masuk industri musik Tanah Air. Tak terkecuali Didi, mereka berlomba merekam sendiri lagu ciptaan masing-masing agar bisa langsung ditawarkan ke produser.
Karya mereka hanya dapat lolos jika dianggap berkualitas dan punya potensi untuk mengembangkan karirnya di dunia entertainment. Keberuntungan berpihak pada Didi. Suara Didi yang punya warna vokal khas dan unik telah menarik hati para produser yang ia temui.
Baca Juga: Waspadai Ancaman Serangan Jantung Diam-Diam dan Pahami Gejala-Gejalanya
Makna di Balik Nama “Kempot”
Berhasil masuk dapur rekaman, Didi lantas mengambil kata “Kempot” untuk digunakan sebagai nama panggungnya. Nama Kempot sendiri merupakan singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar. Grup dan komunitas musik inilah yang mendorong Didi untuk berhijrah ke ibukota.
Selain itu, nama tersebut dianggap mewakili dan cocok dengan image Didi. Seperti diketahui, sejak awal memang sudah identik dengan karyanya yang berkisah tentang patah hati, galau, dan rasa sedih.
Patah Hati di Balik Lagu Cidro
Seiring dengan perkembangan karirnya yang kian meroket, nama Didi Kempot pun tak hanya terkenal di Nusantara. Gaungnya bahkan harum sampai mancanegara. Terbukti, di tahun 1993, pamor Didi kian diakui dengan tampil di Suriname dan Eropa.
Lewat lagunya yang berjudul Cidro, nama Didi makin melesat sebagai musisi. Usut punya usut, lagu tersebut berangkat dari kisah percintaan nyata yang dialaminya. Cinta yang tak bisa bersatu itu terhalang restu dari orang tua pihak wanita yang tak kunjung datang.
Ya, lagu Cidro ternyata berangkat dari kisah cinta yang ia alami. Lagu tersebut akhirnya mewakili perasaan orang banyak yang mempunyai kisah serupa.
Meraih Puncak Kejayaan dan Jadi Duta KA
Kesuksesan Didi terus berlanjut. Di tahun 1996, lagu Layang Kangen digubah dan direkamnya di Belanda, tepatnya Rotterdam. Memasuki tahun 1998, Didi kembali pulang ke Indonesia. Ia lantas meramaikan belantika musik Nusantara dengan meledaknya lagu Stasiun Balapan di pasaran.
Lagu ini juga kemudian membuat Pakde Didi lantas didaulat menjadi duta kereta api Indonesia. Belakangan, tembang yang dirilis di tahun 1999 itu juga membuat nama stasiun KA di Solo jadi semakin terkenal. Demikian juga dengan sosok Didi yang kian melambung.
Puncak kejayaannya berbarengan dengan era reformasi yang saat itu tengah berlangsung di Tanah Air. Hingga kemudian di tahun 2000, Didi terus menelurkan karya demi karya menarik yang semakin diakui dan diapresiasi seluruh anak negeri.
Lagu-lagu lainnya seperti Suket Teki hingga Ojo Mudik yang menjadi karya terakhirnya, selalu mendapat tempat di hati masyarakat dan penggemarnya.
Peduli Bangsa dan Sesama
Wabah Covid-19 yang merebak di dunia juga ikut menggerakkan hatinya. Pada April lalu, ia menghelat performance virtual untuk menggalang donasi bagi rakyat yang terkena dampak.
Berkat konser tersebut, terkumpullah dana hingga lebih dari Rp7 miliar yang dapat dimanfaatkan untuk menolong sesama yang membutuhkannya.
Sementara itu, menurut jadwalnya, konser almarhum lainnya hendak digelar pada Juli 2020 mendatang. Diketahui, penjualan tiketnya telah dimulai sejak Mei 2020 ini.
Baca Juga: Tak Sengaja Antar Teman Ikut Casting, Tak Disangka Rezky Aditya Malah Sukses Jadi Aktor
Meraih Banyak Prestasi
Di sepanjang sepak terjangnya sebagai sang legenda, Didi Kempot yang juga kerap disapa dengan panggilan Lord Didi ini telah meraih banyak sekali penghargaan bergengsi. Ia berhasil menjadi bintang dengan pencapaian karir yang sangat memuaskan.
Sejumlah trofi dari AMI Award untuk beraneka macam kategori telah ia bawa pulang. Salah satunya yakni untuk kategori Lagu Daerah Terbaik hingga Karya Musik Balada/ Country/ Folk Terbaik.
Salah satu album yang digubah Didi, Kalung Emas, juga berhasil meraih penghargaan AMI di kategori Keroncong Kontemporer pada tahun 2002.
Tarif Perform Fantastis Pakde Didi
Semakin hari, tarif perform Didi untuk sekali tampil jadi semakin meroket. Meningkat cukup drastis, sosoknya yang belakangan jadi viral di berbagai social media bisa meraup kenaikan hingga dua kali lipat.
Sebagaimana disebutkan oleh salah seorang promotor event organizer di media massa, tarif Didi bisa mencapai angka Rp50 jutaan. Setelah sebelumnya almarhum memasang fee sebesar Rp30 jutaan.
Merebut Perhatian Generasi Milenial
Meski rentang usia cukup besar, namun musik dan lirik yang kuat mampu menjembatani gap yang ada. Demikian juga dengan karya-karya almarhum Bapak Loro Ati Nasional yang fenomenal di pergaulan generasi milenial Indonesia.
Selama tiga puluh tahun berkarya, Didi Kempot telah menorehkan sejumlah prestasi yang berbeda dari yang lainnya. Ia menjadi pemusik genre campur sari pertama yang berhasil menyentuh hati para pemuda.
Bahkan ia telah menghelat pergelaran di The Pallas SCBD dan Live Space pada akhir 2019 lalu. Sedangkan biasanya, tempat-tempat tersebut hanya menampilkan gelaran musik zaman sekarang yang kekinian. Alhasil nama Didi pun menjadi yang perdana menampilkan musik campur sari di dua tempat terkait.
Lebih Istimewa Karya Jika dari Hati
Karya Didi yang dibuat dari hati telah memberikan pengaruh yang besar bagi banyak orang. Lagu-lagunya akan selalu diingat dan diapresiasi dalam kenangan oleh masyarakat luas dan para penggemarnya.
Melalui perjalanan karirnya, anak muda bisa belajar bahwa usaha yang tulus dan perjuangan dari nol akan berbuah kesuksesan pada akhirnya. Rest in love, Pakde Didi. Terima kasih atas karya dan inspirasi yang istimewa dari hati.
Baca Juga: 5 Film Inspiratif yang Bisa Membuatmu Semangat Mendapatkan Pekerjaan