Mengenal Momentum Sell in May and Go Away yang Penting Dipahami Semua Investor

Dalam berinvestasi, tidak sedikit investor memantau momentum yang biasanya terjadi dalam siklus tahunan. Hal tersebut umumnya dilakukan agar memudahkan investor dalam mengambil keputusan investasi di masa depan. Pada dasarnya, ada banyak momentum yang kerap dijadikan acuan oleh investor ketika menanam modal.

Salah satunya adalah momentum yang dikenal dengan sebutan sell in May & go away. Sesuai namanya, istilah ini mengacu pada strategi investasi investor pada instrumen saham yang dianjurkan untuk melepas saham pada bulan Mei dan membelinya kembali di akhir tahun. Situasi tersebut dikenal sebagai suatu anomali saham tahunan, selayaknya January Effect dan Window Dressing

Lalu, seperti apa selengkapnya pengertian dari momentum sell in May & go away ini? Juga, apakah anomali saham tersebut juga berlaku pada bursa saham di Indonesia dan memengaruhi nilai IHSG? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak penjelasan berikut ini.

Baca Juga: Memahami Stock Pick, Metode yang Bantu Investor Memilih Instrumen Investasi Terbaik

Tentang Momentum Sell in May and Go Away

Sell in May and Go Away

Dalam dunia investasi, istilah sell in May & go away cukup populer dikenali oleh investor, khususnya di instrumen saham. Pada dasarnya, istilah ini mengacu pada sikap investor di bulan Mei yang umumnya menjual dan melepas portofolio sahamnya secara besar-besaran. Bukan tanpa alasan, langkah tersebut dilakukan oleh investor mengingat jika kinerja di pasar saham umumnya melandai antara bulan Mei sampai Oktober. 

Pasca melewati bulan Oktober, nantinya investor akan kembali membeli saham secara besar-besaran pula. Pasalnya, kinerja bursa saham dalam kurun waktu November sampai April umumnya terbilang menjanjikan dan berpotensi memberi keuntungan. 

Perlu dipahami jika momentum atau anomali ini bukan menggambarkan kepanikan dari pihak investor. Melainkan, situasi tersebut merupakan strategi yang diterapkan investor guna bisa melindungi nilai investasinya dan meraih peluang imbal hasil yang optimal pada pasar modal

Tidak sedikit investor yang percaya jika mayoritas pemilik modal akan menahan modalnya selama musim panas tersebut. Sehingga, volume transaksi dan jumlah investor di pasar modal diyakini akan melandai sepanjang periode tersebut. Situasi ini akan membuat geliat investasi pada pasar ekuitas lebih berisiko serta tak mampu memberikan keuntungan yang optimal. 

Sejarah Kemunculan Istilah Sell in May and Go Away

Sebelum ramai digunakan dalam dunia investasi, istilah sell in May & go away telah jauh lebih dulu ada sebagai pepatah kuno asal Inggris. Pepatah tersebut umum dilontarkan kepada para pedagang, bankir, dan juga bangsawan di London dan merujuk pada kebiasaan meninggalkan kota tersebut selama beberapa bulan ketika musim panas, serta kembali lagi beraktivitas di pertengahan bulan September. 

Kebiasaan masyarakat Inggris tersebut nyatanya mirip dengan yang ditemukan pada masyarakat Amerika Serikat. Saat memasuki bulan Mei, umumnya investor dan trader akan memilih untuk menghabiskan waktunya dengan berlibur selama musim panas yang umumnya berlangsung di bulan Mei sampai Oktober.

Alhasil, kebiasaan tersebut juga berpengaruh terhadap aktivitas para pelaku pasar modal dan memberi dampak nyata pada kinerja di pasar modal selama setengah abad lebih. Hal tersebut terbukti dengan kinerja historis pasar saham yang cenderung memburuk selama kurun waktu 6 bulan, atau lebih tepatnya dari bulan Mei sampai Oktober. 

Imbas dari adanya pepatah tersebut, saat ini juga ada cukup banyak investor yang biasa mengambil langkah profit taking, bahkan melepas seluruh kepemilikan sahamnya pada bursa di bulan Mei. Tak sekadar mencairkannya menjadi uang tunai, investor umumnya mengalihkan dana dari saham ke instrumen lain yang lebih rendah risiko, seperti reksa dana. Tujuannya tidak lain untuk menghindari risiko sentimen negatif selama kurun waktu tersebut. 

Kinerja Saham Dunia Selama Momen Sell in May and Go Away

Mengacu pada data historis, sejak tahun 1950 sampai 2013, tingkat return atau imbal hasil indeks dari Dow Jones Industrial Average hanyalah 0,3 persen antara bulan Mei sampai Oktober. Angka tersebut jauh lebih kecil ketimbang return yang mampu dihasilkan di bulan November sampai April, yaitu sekitar 7,5 persen. 

Walaupun begitu, hingga sekarang analis masih belum mengetahui pasti apa penyebab utama dari penurunan nilai saham secara musiman itu. Akan tetapi, banyak di antara analis pasar saham yang sepakat jika aliran investasi lebih bergejolak di musim dingin dibanding musim panas. 

Di samping itu, dampak dari anomali sell in May & go away juga kelihatannya tak berlaku dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Investor terlihat sudah menyadari jika mereka berpotensi kehilangan kesempatan meraih cuan yang terjadi selama bulan Mei sampai Oktober, dan membuat sebagian dari mereka memilih untuk tetap berinvestasi. 

Contohnya, di indeks NASDAQ 2016 lalu, tercatat nilai pada akhir bulan April sebesar 4.775. Lalu, pada akhir bulan Juni, nilainya malah meningkat ke angka 4.779. Selain itu, indeks ini juga melesat hingga 55 persen antara penghujung bulan Juni 2016 sampai Januari 2018.

Situasi serupa juga terjadi pada indeks S&P 500, di mana indeks ini mencatat kinerja 2 digit selama Mei sampai Oktober di tahun 2020. Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan stigma penurunan performa investasi selama bulan Mei sampai Oktober. Jadi, momentum sell in May & go away tak selalu bisa dijadikan acuan bagi investor dalam menentukan strategi investasinya di periode waktu tersebut.

Baca Juga: Mengenal Pengertian DSCR yang Menjadi Bahan Penilaian Investor Sebelum Memilih Saham Perusahaan

Kinerja Saham Indonesia Selama Momen Sell in May and Go Away

Lalu, bagaimana dengan kinerja bursa saham di Indonesia selama kurun waktu Mei sampai Oktober? Meski anomali ini berasal dari negara lain, tapi ternyata dampak dari fenomena sell in May & go away juga bisa dirasakan di bursa saham Indonesia. 

Jika melihat dari kinerja historis IHSG selama kurun waktu antara tahun 2002 sampai 2021, terjadi penurunan sebanyak 7 kali dan 13 kali sisanya mengalami kenaikan. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah tabel kinerja IHSG selama bulan Mei sampai Oktober dari tahun 2002 sampai 2021. 

Tahun

Kinerja IHSG

2002

-30.9 persen

2003 

38.74 persen

2004

9.84 persen

2005

3.56 persen

2006

8.07 persen

2007

32.23 persen

2008

-45.47 persen

2009

37.44 persen

2010

22.35 persen

2011

0.75 persen

2012

4.06 persen

2013

-10.4 persen

2014

5.15 persen

2015

-12.41 persen

2016

12.07 persen

2017

5.64 persen

2018

-2.72 persen

2019

-3.52 persen

2020

8.73 persen

2022

0.93 persen

Sumber: snips.stockbit.com

Berdasarkan informasi historis IHSG di atas, fenomena sell in May & go away memang ada, tapi tak selalu berlaku di pasar saham dalam negeri dengan persentase lebih kecil. Karenanya, selaku investor, kamu tetap perlu melakukan evaluasi dan penelitian terkait kondisi pasar sebelum mengambil keputusan berinvestasi. Dengan begitu, peluang untuk mendapatkan keuntungan yang menjanjikan bisa menjadi lebih tinggi dan tak sekadar mengandalkan anomali tertentu yang belum pasti terjadi. 

Alternatif Penerapan Metode Sell in May and Go Away

Walaupun berdasarkan histori sempat beberapa kali menunjukkan hasil kinerja yang akurat, tapi tidak sedikit analis yang tak sekadar menerapkan strategi sell in May & go away secara mentah-mentah. Melainkan, usahakan untuk melakukan rotasi, di mana investor tak menarik semua modal investasinya dan melakukan diversifikasi. 

Selain itu, investor juga disarankan untuk berfokus pada instrumen atau produk yang memiliki ketahanan terhadap tren atau anomali musiman. Oleh karena itu, strategi ini mengharuskan pihak investor untuk menanamkan modalnya pada sektor kesehatan atau teknologi yang umumnya tak mudah terpengaruh oleh sentimen musiman ini. 

Di samping itu, investor ritel yang memiliki rencana investasi jangka panjang juga tetap disarankan untuk menahan portofolionya. Alasannya karena pasar ekuitas hampir bisa selalu dipastikan akan berkembang seiring waktu terlepas dari ada atau tidaknya anomali musiman. 

Tetap Jadikan Hasil Analisis Sebagai Dasar Keputusan Utama saat Investasi

Walaupun bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan keputusan investasi, usahakan untuk tak hanya berbekal strategi sell in May & go Away. Utamanya, tetap jadikan hasil analisis teknikal dan fundamental sebagai pertimbangan ketika berinvestasi dan memilih saham. Barulah dengan begitu peluang kamu untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dari investasi saham bisa menjadi lebih tinggi.

Baca Juga: Prinsip Investasi High Risk, High Return, Apakah Patut Diterapkan?