Jangan Pakai Pinjaman KTA untuk DP Rumah agar Keuangan Selamat
Salah satu kendala banyak orang membeli rumah KPR adalah persoalan DP atau uang muka. Bagaimana tidak? Anda harus menyiapkan uang puluhan sampai ratusan juta rupiah untuk mengambil KPR.
Itu saja sudah bikin pusing tujuh keliling mengumpulkan dananya. Harus kerja banting tulang, siang dan malam kalau enggak mau tinggal di pondok indah mertua selamanya.
Sebetulnya Bank Indonesia (BI) sudah melonggarkan ketentuan DP rumah pertama dari 15 persen menjadi nol persen. Tetapi faktanya, tidak semua bank menerapkan aturan tersebut.
Jadilah, masyarakat tetap harus menyetor DP bila ingin mengambil KPR. Sebagai contoh, Anda ingin membeli rumah KPR seharga Rp 300 juta. Asumsi DP sebesar 15 persen. Berarti Anda harus menyediakan uang muka sebesar Rp 45 juta.
Jika harus menabung sekitar Rp 500.000 per bulan, maka butuh waktu 90 bulan atau lebih dari 7 tahun untuk mengumpulkan DP. Keburu harga rumah naik, DP juga makin besar.
Karena ngebet punya rumah, banyak orang mengakali pakai cara lain yang lebih cepat, yakni mengajukan pinjaman Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk membayar DP rumah. Bahkan lewat online, hanya berbekal KTP saja. Duit cair dalam waktu 2-3 hari.
Sekilas cara tersebut sangat menguntungkan. Tetapi ternyata ada masalah lebih besar yang akan menimpa Anda bila memakai pinjaman KTA untuk DP rumah KPR. Apa saja itu? Berikut penjelasannya:
1. Cicilan gede
Membeli rumah KPR sama saja berutang, kemudian Anda gali lubang lagi dengan mengajukan pinjaman KTA untuk menutup lubang sebelumnya. Cara ini akan membebani keuangan bulanan Anda.
Contohnya Anda mengajukan pinjaman KTA sebesar Rp 50 juta untuk DP harga rumah Rp 300 juta. Bunga flat 1 persen selama 5 tahun (60 bulan). Berarti cicilan per bulan beserta bunganya sebesar Rp 1,33 juta per bulan.
Harga rumah Rp 300 juta, DP 15 persen = Rp 45 juta. Pokok kredit = Rp 345 juta. Tenor 15 tahun (180 bulan). Asumsi suku bunga 10,50 persen. Maka cicilan per bulan = Rp 3.018.750.
Semakin mahal harga rumah yang diambil, angsuran setiap bulannya pun semakin tinggi. Dengan begitu, Anda akan punya dua utang sekaligus. Yakni kewajiban membayar angsuran pinjaman KTA dan cicilan rumah saban bulan. Total Rp 1,33 juta + Rp 3,02 juta = Rp 4,35 juta per bulan.
2. Pembayaran bunga jadi beban keuangan
Kalau diamati, total utang pokok pinjaman KTA ditambah bunga yang harus Anda bayar hingga jatuh tempo atau 5 tahun sebesar Rp 79,9 juta. Hampir Rp 80 juta. Dari pinjaman KTA Anda sebesar Rp 50 juta, berarti beban bunganya nyaris Rp 30 juta.
Sedangkan untuk cicilan rumah KPR sebesar Rp 3,02 juta, maka dalam kurun waktu 15 tahun totalnya sebesar Rp 543,6 juta. Lebih besar Rp 243,6 juta dibanding harga rumah yang Anda beli. Jumlah dana yang sangat besar dan akan menjadi beban keuangan Anda hingga 15 tahun ke depan. Siap-siap kencangkan ikat pinggang.
3. Berpotensi kredit macet
Dua utang sekaligus yang harus Anda bayar setiap bulan. Apakah sanggup? Utang yang sehat adalah tidak lebih 30 persen dari gaji atau penghasilan bulanan Anda. Oleh karena itu, kalau membayar utang sebesar Rp 4,35 juta per bulan, berarti gaji atau penghasilan Anda harus Rp 15 juta.
Jika tidak berpotensi gagal bayar dan akhirnya terjadi kredit macet. Bila gagal bayar atau kredit macet, Anda bakal dikejar-kejar debt collector. Rumah KPR yang belum lunas bakal disita, barang atau aset berharga yang lain pun ikut diambil sebagai jaminan pelunasan utang.
4. Dilarang BI dan OJK
Bank Indonesia atau BI maupun OJK melarang penggunaan pinjaman KTA untuk DP rumah. Mengajukan KTA di bank A atau melalui fintech B, untuk DP rumah KPR di bank C. Karena berpotensi besar gagal bayar.
Jika Anda mengalami gagal bayar, otomatis memperburuk rapor kredit Anda di BI atau OJK. Bahkan bisa masuk daftar hitam (blacklist) regulator. Kalau belum dilunasi, ke manapun Anda mengajukan kredit, pasti bakal ditolak.
Baca Juga: Begini Nasib yang Bakal Anda Alami Jika Coba-coba Lari dari Utang