Melunasi KPR Lebih Cepat Bisa Bikin Anda Buntung, Kok Bisa?
Setiap orang yang sadar memiliki pinjaman, pasti ingin sekali melunasinya dalam waktu cepat, bahkan sebelum jatuh tempo. Kalau punya uang lebih, yang utama adalah membayar utang.
Tetapi faktanya, debitur justru harus merogoh biaya tambahan bila melunasi pinjaman sebelum waktu yang sudah disepakati bersama. Sebut saja Kredit Tanpa Agunan (KTA). Ada biaya pinalti atau denda apabila pelunasan dipercepat.
Selain itu, Kredit Pemilikan Rumah ( KPR) pun demikian. Niat hati mau bebas dari sisa cicilan utang dengan melunasinya sebelum masa tenor selesai, tetapi malah bikin rugi debitur.
Berikut kerugian melunasi KPR lebih cepat:
1. Perhitungkan skema bunga KPR
Dalam pinjaman KPR, umumnya berlaku dua tingkat bunga. Yakni bunga tetap (fixed) dan bunga mengambang (floating). Suku bunga tetap biasanya di awal-awal untuk menarik minat orang mengambil KPR.
Sayangnya, tingkat bunga tetap diberikan hanya jangka waktu tertentu. Misal 2 tahun atau 3 tahun. Kemudian sisanya berlaku bunga mengambang.
Besarannya berfluktuasi sesuai suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau 7-Day Reverse Repo Rate dan penyesuaian dari pihak bank.
Kalau Anda sebagai debitur melunasi sisa KPR sebelum tenor berakhir misalnya satu tahun terakhir, dengan tingkat bunga yang berlaku saat itu. Tetapi Anda justru tekor, karena bisa saja di satu tahun tenor tersebut BI menurunkan suku bunga acuan dan pihak bank memangkas bunga KPR.
Untuk itu, sebelum melunasi pinjaman KPR, sebaiknya perhatikan tren suku bunga BI dan perbankan. Agar kamu untung, bukan buntung.
Atau sebelum membeli rumah, pertimbangkan dengan matang dengan memilih KPR Syariah. Sebab, KPR Syariah tidak menerapkan sistem bunga. Sehingga besaran cicilan KPR tetap sampai tenor selesai.
2. Biaya denda atau pinalti
Melunasi utang sebelum waktunya bisa menjauhkan debitur dari kredit macet. Tapi cara ini ternyata merugikan pihak bank. Contohnya harga rumah Rp 300 juta, DP 15 persen = Rp 45 juta. Pokok kredit = Rp 345 juta. Tenor 15 tahun (180 bulan).
Asumsi suku bunga 10,50 persen. Maka cicilan per bulan = Rp 3,02 juta. Untuk cicilan KPR sebesar Rp 3,02 juta, maka dalam kurun waktu 15 tahun, totalnya sebesar Rp 543,6 juta. Lebih besar Rp 243,6 juta dibanding harga rumah yang Anda beli.
Jika Anda terus mencicil KPR sampai jatuh tempo selesai, bank bisa mendapatkan ratusan juta rupiah. Sedangkan bila pelunasannya lebih cepat, tentu saja keuntungan bank berkurang.
Maka dari itu, debitur dikenakan denda atau pinalti sebagai bentuk ganti rugi atas hilangnya keuntungan tersebut. Besaran biaya pinalti berbeda-beda, tergantung bank masing-masing.
Bahkan tidak semua bank memberlakukan pinalti. Ada bank yang justru membebaskan biaya tersebut bila debitur sanggup melunasi KPR dalam kurun waktu yang sudah ditentukan bank.
3. Keuangan bisa goyang
Memang sih, melunasi utang dengan cepat sangat bagus. Tetapi kalau justru membahayakan keuangan Anda, bagaimana? Mengabaikan tabungan dan dana darurat demi membayar semua utang, merupakan cara mengatur keuangan yang salah.
Gaji atau penghasilan dihabiskan untuk melunasi utang. Ya, kalau Anda masih bekerja dan gaji aman. Bagaimana jika tidak? Apalagi di masa resesi sekarang ini. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan. Bisa saja Anda kena PHK atau pengurangan gaji.
Sementara sama sekali tidak punya tabungan dan dana darurat. Utang satu lunas, tetapi Anda akan mengajukan utang baru untuk menutup kebutuhan hidup. Sama saja bohong kan.
Apabila Anda ingin melunasi KPR dengan cepat, konsekuensinya Anda harus mencari penghasilan tambahan, hidup hemat dan sederhana, bukan pelit. Alokasi bujetnya, sisihkan 20 persen dari gaji setiap bulan untuk membayar cicilan.
Sedangkan pemasukan dari kerja sampingan ditabung untuk melunasi utang. Dengan demikian, Anda tetap punya alokasi anggaran dana darurat dan tabungan di luar pelunasan KPR untuk berjaga-jaga.
Baca Juga: Cicilan KPR Macet di Tengah Pandemi? Berikut Solusi yang Bisa Anda Coba