Menelusuri Jatuh Bangun Edwin Soeryadjaya, Konglomerat Batu Bara dengan Harta Triliunan Rupiah
Edwin Soeryadjaya ialah pengusaha terkemuka Indonesia dengan total kekayaan yang berlimpah. Di tahun 1998, lulusan University of Southern California ini merintis Saratoga Investama Sedaya (sebelumnya Saratoga Capital) di tahun 1998.
Bersama Sandiaga Uno, Edwin membangun perusahaan investasi tersebut yang konsentrasinya tertuju pada sektor infrastruktur, sumber daya alam, dan lainnya. Selain itu, Edwin juga menjadi Komisaris Utama dari PT Adaro Energy Indonesia Tbk (dulu PT Padang Kurnia), perusahaan pertambangan batu bara tersohor di Indonesia.
Memasuki tahun 2010, ia pernah meraih penghargaan The 2010 Indonesia Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young. Pencapaian bergengsi tersebut ia dapatkan berkat kinerjanya baik di Saratoga Group maupun sebagai pentolan PT Adaro Energy Indonesia Tbk.
Saat ini, Edwin juga berperan sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia yang membawahi Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Cawang, Jakarta. Berdasarkan data Forbes 2021, Edwin diketahui berada di urutan ke-29 dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia. Harta kekayaannya digadang-gadang telah mencapai Rp21,5 triliun (setara 1,51 miliar Dollar AS).
Baca Juga: Kisah Tokoh Wirausahawan Sukses Indonesia yang Inspiratif
Mewarisi Insting Bisnis dari Sang Ayah
Edwin Soeryadjaya (Sumber: www.posbagus.com)
Edwin Soeryadjaya lahir dengan nama Tjia Han Poen di Jakarta, pada 17 Juli 1949. Ia adalah putra kedua dari orang tua William Soeryadjaya dan Lily Anwar Soeryadjaya. Ia mempunyai seorang kakak, yakni Edward Soeryadjaya, dengan dua adik perempuan bernama Joyce dan Judith.
Ayahnya, William Soeryadjaya (kerap disapa Oom William), dikenal sebagai pengusaha terkemuka yang mendirikan perusahaan konglomerat PT Astra International Tbk. Oom William juga dikenal sebagai mentor Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha kawakan yang kini menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Mewarisi insting bisnis dari ayahnya, Edwin lantas menempuh pendidikan tingginya di University of Southern California. Di sana, ia meraih gelar Bachelor of Business Administration.
Karier Makin Moncer Bersama Perusahaan Sang Ayah
Seusai menimba ilmu, Edwin lantas bergabung dengan perusahaan ayahnya. Di tahun 1978, ia pun bekerja sebaik mungkin sehingga Astra International menjadi semakin gemilang.
Kinerjanya yang cemerlang lantas membuat Edwin dipercaya untuk merestrukturisasi keuangan Astra. Kian meroket, Edwin belakangan berhasil membawa nama Astra sukses melantai di bursa saham dengan penawaran paling besar di Indonesia.
Hilang Harta Demi Nama Baik Keluarga
Kisah berlanjut ketika William Soeryadjaya mengambil langkah diversifikasi usaha. Pimpinan utama Astra tersebut lantas mendirikan Bank Summa. Namun sayang, keberuntungan tidak lagi berpihak.
Astra malah tumbang ketika harus melunasi utang Bank Summa yang terkena likuidasi Pemerintah. Ketika itu, Bank Summa yang dipimpin oleh Edward Soeryadjaya mempunyai manajemen yang tidak sehat. Sehingga ketika mengalami krisis, William Soeryadjaya pun terpaksa harus menjual lebih dari 70% saham Astra.
Menurut Edwin, ayahnya mengajarkan sejumlah nilai-nilai penting dalam berbisnis. Salah satunya yaitu menjaga nama baik keluarga. Dan demi menjaga nama baik itulah, keluarga Soeryadjaya harus menyelesaikan kewajiban kepada setiap nasabahnya setelah terlikuidasi.
Tak pelak, kepahitan tersebut menjadi masa sulit bagi Edwin Soeryadjaya dan keluarga. Harta kekayaan mereka tak hanya hilang. Edwin pun harus rela melepas jabatannya sebagai wakil presiden direktur Astra di tahun 1993.
Temui Kegagalan Saat Berusaha Bangkit
Selama lebih dari setengah tahun lamanya, Edwin sempat bingung kelimpungan dalam menafkahi keluarganya. Setelah melepas Astra, ia sempat beberapa kali membuka usaha dan menindaklanjuti sejumlah potensi yang ada. Sayangnya, usaha-usaha tersebut berujung kegagalan.
Hingga suatu waktu, ia berkesempatan mengikuti tender Kerja Sama Operasi PT Telkom. Untungnya, Edwin pernah mengurusi bagian telekomunikasi sewaktu masih berkarya di Astra.
Meski ada 50 perusahaan yang mengikuti tender dan hanya lima pemenang yang akan dipilih, namun Edwin tetap mencoba. Memberanikan diri, ia pun mencari pinjaman sebesar Rp15 juta. Sejumlah kolega bisnisnya bahkan sempat memperingatkan bahwa tender ini berat dengan persaingan yang ketat.
Namun keyakinan dan usaha Edwin berbuah manis. Perusahaan Edwin berhasil menjadi salah satu dari lima pemenang tender kerja sama itu. Momentum inilah yang menjadi langkah awal dari bangkitnya Edwin Soeryadjaya, mengingat tender tersebut bernilai 1 miliar Dollar AS dan dimulai pada tahun 1997.
Baca Juga: Menyingkap Kiprah Anthony Salim Bersama Salim Group yang Sukses Bertahan Selama Tiga Generasi
Kembali Hoki dan Mendapat Solusi
Edwin lantas berhasil mendapat kredit dari sekitar 40 bank untuk menjalani proyek garapannya tersebut. Ia pun berasumsi, bisa jadi kemujurannya itu didapatkan berkat nama baik keluarganya.
Ia juga beranggapan, mungkin hukum tabur tuai saat itu tengah bekerja. Mungkin dikarenakan kebaikan ayahnya yang dulu kerap menolong orang lain membuat Edwin pun mendapat bantuan sewaktu membutuhkan.
Terlepas dari semua itu, Edwin percaya bahwa sebagai manusia dirinya hanya bisa berusaha. Karena selebihnya, Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.
Era Baru Bersama Saratoga
Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Sumber: www.cnbcindonesia.com)
Memasuki tahun 1998, Indonesia terdampak krisis ekonomi yang melanda. Namun Edwin melalui Saratoga justru sanggup membeli perusahaan Astra Microtonic. Saat itu, Edwin telah menggandeng Sandiaga Uno (anak didik ayahnya dalam berbisnis) sebagai kongsiannya.
Kemudian melalui Saratoga Investama Sedaya yang dibentuk bersama Sandiaga Uno, Edwin kembali unjuk gigi merambah ranah usaha. Ia memilih bangun dan menyongsong era baru kesuksesannya.
Edwin pun kembali mengembangkan sejumlah bisnis di pelbagai bidang. Mulai dari infrastruktur, pertambangan, perkebunan, telekomunikasi, otomotif, transportasi, properti, farmasi, hingga hasil bumi kini menjadi anak-anak perusahaan di bawah naungan Grup Saratoga.
Adapun beberapa di antaranya ialah PT Sinar Mentari Prima, PT Saratoga Sentra Business, PT Provident Agro Tbk, PT Paiton Energy, Sihayo Gold Limited, PT Tenaga Listrik Gorontalo, PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRC), PT Tri Wahana Universal, Seroja Investment Limited, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, dan lainnya yang kini telah berjumlah lebih dari 40 perusahaan.
Merajai Bisnis Batu Bara
Kilas balik ke tahun 2000, bisnis pertambangan batu bara kian menggeliat di Tanah Air. Ini dikarenakan harganya menjadi semakin kompetitif layaknya bisnis minyak bumi. Selain itu, tingginya permintaan untuk batu bara membuat harganya relatif terjaga.
Alhasil, Edwin Soeryadjaya pun ikut menjajal ranah tersebut, seperti sepupunya, Teddy Rachmat (pendiri perusahaan batu bara Pama Persada). Belakangan Edwin mengajak Benny Subianto dan mereka berdua membeli saham dari Adaro.
Kemudian pada tahun 2005, Edwin bersama William sang ayah, serta jajaran pengusaha lainnya seperti Garibaldi, Sandiaga Uno, dan Teddy Rachmat, semuanya bergabung. Mereka berlima lantas mengambil alih Adaro Energy dari pemilik lama dan merajai bisnis batu bara.
Menangkan Penghargaan Bisnis Berskala Internasional
Berkat kiprahnya yang moncer sebagai Presiden Komisaris dari PT Adaro Energy Tbk dan Chairman untuk Saratoga Group, Edwin pun diganjar penghargaan prestisius. Kilas balik ke tahun 2010 lalu, ia mendapatkan penghargaan The 2010 Indonesia Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young.
Edwin saat itu berhasil menang lantaran dinilai berkontribusi signifikan bagi negara berkat kesuksesan perusahaannya. Prestasi tersebut dianggap memotivasi dan menjadi katalis bagi para pengusaha lainnya dalam memperkaya budaya entrepreneurship Tanah Air.
Adapun Ernst & Young Entrepreneur of the Year merupakan salah satu program penghargaan bisnis kenamaan di Indonesia. Award yang satu ini begitu terkemuka karena menjadi satu-satunya ajang yang mempunyai landasan internasional di sektor bisnis.
Ernst & Young Entrepreneur Award pertama kali dipersembahkan pada tahun 1986 di Amerika Serikat. Adapun di Indonesia, penghargaan ini mulai dipersembahkan sejak tahun 2001.
Menjalin Kerja Sama dengan Tesla
Kini, Adaro Energy pun telah berkembang pesat menjadi salah satu produsen batu bara paling kenamaan di Tanah Air. Perusahaan tersebut merupakan salah satu produsen batu bara termal paling besar di Indonesia. Selain itu, Adaro Energy juga merupakan penyuplai penting dalam pasar batu bara termal global.
Bahkan kabarnya, Edwin bersama Adaro Energy telah bekerja sama dengan supplier baterai paling besar di China untuk Tesla dan baterai itu akan diproduksi di Indonesia. Menurut Edwin, terobosan ini berpotensi mengangkat citra dan nama baik Tanah Air. Tak sekadar ekspor barang mentah saja, tapi ada nilai tambah yang bisa didapatkan dari inovasi ini.
Selain itu, Adaro Energy pun telah beranak pinak melahirkan lebih dari 20 perusahaan yang melipatgandakan keuntungan Edwin. Di antaranya seperti PT Rehabilitasi Lingkungan Indonesia, PT Adaro Power, PT Maritim Barito Perkasa, PT Padang Sejahtera, PT Sarana Rekreasi Mandiri, Coal Trade Service International Pte Ltd, dan masih banyak lagi.
Per tahun 2016 saja, pendapatan dari PT Saratoga Investama Sedaya Tbk telah mencapai Rp17,7 triliun, dengan laba bersih Rp5,703 triliun. Keterpurukan yang pernah dihadapi Edwin Soeryadjaya pun telah berlalu. Sebaliknya, ia kini telah menjadi salah satu pengusaha yang tercatat paling kaya raya di Indonesia.
Baca Juga: 9 Tokoh yang Bisa Kamu Jadikan sebagai Sumber Inspirasi Kesuksesanmu