Ranitidin, Obat Penghambat Sekresi Asam Berlebih dalam Lambung
Penyakit yang terjadi pada sistem pencernaan menjadi salah satu masalah kesehatan yang faktanya cukup banyak diderita oleh masyarakat zaman sekarang. Karena kesibukan bekerja dan terbatasnya kemampuan untuk menjalankan gaya hidup sehat, banyak orang yang menyepelekan pola makan dan kesehatan makanan yang dikonsumsinya.
Karenanya, sistem pencernaan seringkali menjadi korbannya dengan munculnya berbagai jenis penyakit pada organ tersebut. Salah satu penyakit pada sistem pencernaan yang banyak diderita oleh masyarakat zaman sekarang adalah maag atau asam lambung. Bahkan, dalam kondisi yang parah, penyakit tersebut dapat sampai menghambat seseorang untuk beraktivitas.
Kondisi dimana produksi asam lambung terlalu berlebihan dapat memicu masalah dalam lambung. Bahkan, sekresi asam lambung yang berlebihan mampu membuat dinding lambung mengalami iritasi hingga peradangan. Hal tersebut tentu juga dapat memicu terjadinya gangguan pada saluran pencernaan.
Untuk mengatasi masalah lambung tersebut, ada berbagai jenis obat yang bisa dikonsumsi oleh penderitanya. Salah satu jenis obat untuk mengobati masalah asam lambung tersebut adalah Ranitidin. Ranitidin tergolong sebagai obat yang sudah cukup lama beredar di apotek di Indonesia.
Obat tersebut bahkan diketahui boleh dikonsumsi oleh orang dewasa hingga anak-anak. Namun, sebelum menggunakan Ranitidin, ada beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu agar pemakaiannya tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Berikut penjelasannya.
Deskripsi Obat Ranitidin
Sumber: kastara.id
Ranitidin adalah obat yang biasa digunakan untuk mengatasi penyakit atau gejala yang berhubungan dengan produksi atau sekresi asam lambung berlebih. Produksi asam berlebih pada lambung dapat memicu terjadinya iritasi dan inflamasi di dinding lambung serta saluran pencernaan.
Dengan mengonsumsi obat Ranitidin, sekresi asam lambung yang berlebihan dapat dihambat. Beberapa jenis masalah kesehatan pencernaan yang bisa diobati dengan obat ini meliputi tukak lambung, GERD atau penyakit reflux asam lambung, sakit maag, dan juga sindrom Zollinger-Ellison.
Ranitidin termasuk sebagai obat dari golongan Histamin H2-reseptor antagonis. Penggunaan dari obat tersebut juga harus disertai resep dokter agar dapat dipakai sesuai dengan dosis amannya. Selain itu, baik orang dewasa maupun anak-anak diketahui boleh mengonsumsi obat ini sesuai resep dokter.
Bagi ibu hamil atau menyusui, Ranitidin masuk sebagai obat Kategori B yang belum terbukti dapat menimbulkan risiko masalah kesehatan pada janin. Namun, kandungan dalam Ranitidin dapat terserap oleh ASI dan ikut dikonsumsi oleh bayi yang menyusui. Jadi, hindari penggunaan obat ini bagi ibu yang berada pada masa menyusui.
Anda akan menemui beberapa bentuk dari obat ini, seperti Ranitidin injeksi, kapsul, dan tablet. Meski begitu, baru-baru ini, beberapa produk dengan kandungan Ranitidin terbukti memiliki kontaminasi dengan NDMA atau N-Nitrosodimethylamine.
NDMA sendiri adalah zat yang memiliki potensi untuk menyebabkan kanker ketika dikonsumsi dengan jumlah banyak dan dengan jangka waktu lama. Oleh karena itu, BPOM memutuskan untuk sementara ini menarik sebagian produk atau merek obat Ranitidin di pasar Indonesia.
Hal yang Harus Diperhatikan
Sama halnya dengan obat jenis lain pada umumnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mengonsumsi obat Ranitidin, seperti:
- Tidak boleh digunakan oleh pasien yang mengidap alergi pada obat tersebut maupun obat lain dengan golongan sama, seperti famotidine dan cimetidine.
- Pasien dengan riwayat penyakit porfiria, diabetes, masalah sistem imun, fenilketonuria, masalah ginjal dan hati, masalah paru, serta intoleransi pada gula wajib mengikuti anjuran dokter.
- Bagi Anda yang merasa kesulitan untuk menelan, harap berhati-hati sebelum mengonsumsi obat ini.
- Beri tahu juga pada dokter mengenai jenis obat-obatan apa saja yang sedang dikonsumsi sebelum menggunakan Ranitidin.
Aturan Pakai dan Dosis Ranitidin
Penggunaan obat ini harus mengikuti keterangan yang tercantum pada kemasan atau anjuran dan resep yang diberikan oleh dokter.
Dosis Ranitidin juga dibagi berdasarkan beberapa aspek, seperti usia, kondisi pasien, tingkat keparahan penyakit, penggunaan obat lainnya, dan respons tubuh. Untuk lebih jelasnya, inilah pembagian dari dosis Ranitidin tablet dan kapsul berdasarkan kondisi tersebut:
Kondisi (Mengidap Penyakit) | Dosis |
---|---|
Dispepsia |
Bagi pasien dispepsia kronis usia dewasa, obat Ranitidin dapat dikonsumsi selama 6 minggu dengan dosis 150 mg dengan 2 kali minum, bisa juga 300 mg untuk sekali minum dalam sehari. Sedangkan penderita dispepsia akut, penggunaan yang disarankan hanya 75 mg untuk 4 kali minum dalam sehari selama tidak lebih dari 2 minggu. |
Infeksi dari Helicobacter pylori |
300 mg untuk sekali minum per hari atau 150 mg dengan 2 kali minum. Obat Ranitidin juga dapat dikombinasikan dengan metronidazole 550mg dan amoxicillin 750 mg selama dua minggu. |
Ulkus Duodenum Jinak |
150 mg dengan 2 kali minum, bisa juga 300 mg untuk sekali minum dalam sehari. Untuk dosis pemeliharaannya adalah 150 mg per harinya. |
Ulkus yang Berhubungan dengan Pemakaian NSAID |
150 mg dengan 2 kali minum atau 300 mg untuk sekali minum per hari. Penggunaan obat ini bisa dilakukan dalam kurun waktu 8 sampai 12 minggu, tergantung anjuran dokter. |
Kelainan Hipersekresi |
150 mg dengan 2 sampai 3 kali minum per hari dengan dosis paling banyak 6 gram seharinya. |
GERD |
150 mg dengan 2 kali minum atau 300 mg untuk sekali minum per hari dan dikonsumsi selama kurang lebih 8 minggu. Untuk kasus GERD kronis, dosis Ranitidin dinaikkan menjadi 150 untuk 4 kali minum sehari dalam kurun waktu 12 minggu. |
Radang Esofagus Erosif |
150 mg dengan 4 kali minum per hari. Sedangkan untuk dosis pemeliharaannya adalah 150 mg dengan 2 kali minum dalam sehari. |
Interaksi yang Bisa Ditimbulkan
Ranitidin dapat memberikan interaksi jika digunakan secara bersama-sama dengan obat jenis lain. Saat dikonsumsi dengan propantheline bromide, Ranitidin mampu memperkuat konsentrasi serum serta memperlambat penyerapan obat tersebut di saluran pencernaan.
Ranitidin juga dapat menghambat metabolisme dari teofilin, propranolol, dan diazepam pada organ hati. Pemakaian obat tersebut juga dapat mengganggu penyerapan dari obat yang penyerapannya dipengaruhi pH, sebagai contoh adalah midazolam dan ketoconazole. Selain itu, bioavailabilitas dari Ranitidin dapat menurun saat dikonsumsi dengan antasida.
Baca Juga: Meredakan Maag Tanpa Obat, Bagaimana Caranya?
Efek Samping Ranitidin
Mengonsumsi obat ini juga dapat menimbulkan berbagai efek samping. Namun, asal dipakai dengan aturan dan dosis yang tepat, obat Ranitidin tidak akan menyebabkan efek samping yang dapat berakibat fatal bagi tubuh.
Efek samping umum dari mengonsumsi Ranitidin adalah:
- Rasa mual dan ingin muntah.
- Insomnia.
- Sakit kepala.
- Vertigo.
- Muncul ruam
- Diare.
- Konstipasi.
Ada pula efek samping lebih serius dan memerlukan pemeriksaan dokter dengan segera:
- Nyeri di perut.
- Nafsu makan menghilang.
- Urine nampak keruh.
- Kulit menjadi lebih mudah memar dan terluka.
- Detak jantung menurun atau meningkat.
- Rambut rontok.
- Merasa bingung.
- Halusinasi.
- Sakit kuning.
Tetap Perhatikan Penggunaan Ranitidin dan Selalu Ikuti Anjuran Dokter
Ranitidin adalah jenis obat yang penggunaannya harus mengikuti anjuran dan resep yang diberikan oleh dokter. Sebab, interaksi dan efek samping obat tersebut dapat memicu masalah kesehatan bagi penggunanya.
Jika diketahui pengguna mengalami overdosis atau alergi obat, maupun mengalami efek samping serius, usahakan untuk membawanya ke dokter. Dengan begitu, pasien dapat menerima penanganan medis yang tepat untuk menanggulangi masalah akibat mengonsumsi obat ini.
Baca Juga: Bikin Kita Panjang Umur! Ikuti Pola Makan dan Makanan Berikut Ini